Rabu, 26 April 2023

Pentingnya Momentum Untuk Menumbuhkan Minat Baca

Pagi ini saya dikejutkan oleh gedoran pintu dari seorang kurir. Sebuah Cash On Delivery yang masih terbungkus plastik tebal diulurkan kepada saya. "Semuanya jadi 195 ribu mas," kata sang kurir.

Saya memang tengah menunggu paket titipan istri. Tapi tak menyangka datang secepat ini. Kubuka bungkusan tersebut dengan sebuah pisau dapur. 

Aku sedikit kaget. Buku yang tengah ku buru ada dalam salah satu isi paket yang berisi buku-buku itu. Ini adalah sebuah kejutan dari Istri. Buku Dunia Anna yang merupakan sekuel dari buku sebelumnya Dunia Shopie.

Meila memang sudah lama memperhatikanku membaca Dunia Shopie. Sebenarnya dia agak risih karena sejak membaca buku itu aku jadi sering update status media sosialku dengan kata-kata sok bijak. "Apaan sih bang," gumamnya.

Istriku ini adalah orang yang sangat suka membaca. "Sejak kecil," ungkapnya. Jadi tak lelah ia mendorongku untuk terus membaca buku. Jadi meskipun dia sedikit sebal karena aku menjadi lebay gara-gara Dunia Shopie, namun ternyata dia tetap mendukungku dengan membelikan novel lanjutannya.

Saya lupa tepatnya pada semester berapa. Waktu ini kami satu kelas diberikan tugas untuk membuat resensi buku laskar pelangi dari Andrea Hirata. Saya belum banyak mengetahui perihal buku ini. Pada momen tersebut, buku itu belum seterkenal sekarang. Baru diterbitkan beberapa pekan atau bulan. Saya tak ingat persis.

Dengan terpaksa saya membacanya. Lagian, ini adalah tugas dari salah satu dosen favoritku bu Santi. Tanpa protes ku baca Laskar Pelangi. Padahal pada waktu itu aku sama sekali bukan orang yang suka membaca. Jangankan buku dengan tebal 529 halaman itu. Yang 50 halaman saja belum tentu ku baca.

Aku terpesona pada Laskar Pelangi, aku tak bisa berhenti membaca sebelum bab-bab pada buku itu habis. Seorang Andrea Hirata berhasil menghinoptisku untuk menamatkan kisah tentang anak-anak miskin belitong itu.

Lalu beberapa waktu berlalu. Dan buku laskar pelangi booming. Semua orang membicarakannya. Senangnya aku karena tak perlu bengong saat berada diantara pembicaraan tentang anak-anak SD Muhammadiyah Gantong. 

Sejak saat itu aku sangat tertarik pada buku-buku. Lebih-labih novel-novel dari Andrea. Sang Pemimpi, Edensor, Maryamah Karpov, Padang Bulan dan Cinta Dalam Gelas, Sebelas Pratriot serta Orang-Orang Biasa dan Guru Aini.

Saya bukanlah orang yang dibesarkan dengan budaya baca. Bukan karena orang tua tidak mendidik saya seperti itu. Saya menduga karena memang saya yang tidak mau. Saya masih ingat ketika kecil setiap seminggu sekali saya dan adik rutin dibelikan majalah Ananda dan Bobo. Toh tak membuat saya menjadi rajin membaca.

Dari SD sampai kuliah saya tak pernah ingat ada buku yang pernah ditamatkan kecuali novel Atheis karya Achdiat Karta Mihardja yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1949. Itu pun karena terpaksa saat pulang kampung ke Agam, Bukit Tinggi. Seminggu di sana tidak ada televisi dan hiburan lain bisa saya nikmati. Untunya sampai sekarang saya masih beragama. Haha.

Hari ini meski belum dapat dibilang seorang kutu buku, minat baca saya sudah lumayan ada. Minimal satu bulan sekali saya menamatkan satu buku. Meski tidak ditarget.

Menumbuhkan minat baca bagi saya memerlukan momentum. Butuh sebuah buku yang menarik keinginan kita untuk membaca. Lalu kita akan ketagihan. Tak musti semua genre buku kita telan. Cukup yang benar-benar sesuai dengan selera kita.

Minat inilah yang coba kami dorong ke anak-anak kami. Lebih luas ke anak-anak sekitar rumah kami. Kami sudah membuka rumah baca kecil-kecilan sejak beberapa tahun lalu. Buku-buku kami susun di ruang tamu dengan ruang dan tempat seadanya.

Kami mencoba agar anak-anak disekitar kami mendapatkan momentumnya dalam membaca. Syukur-syukur minat baca mereka tumbuh di rumah baca milik kami. 

Esai ini di tulis November 2021

Selasa, 16 November 2021

Menghadapi Socrates Method dalam Diri Anak- Anak

“Raqia! Beresin mainannya.” Suara saya makin meninggi. Sudah lebih dari tiga kali saya menyuruh anak pertama saya ini untuk membereskan kesemrawutan yang dibuatnya.

Bukannya menggubris perintah saya, dia malah bertanya sinis "kenapa sih harus beresin mainan? Kan nanti kalo kakak main lagi kan berantakan lagi," gumamnya.

Dengan percaya diri saya menjawab. "Iya kalo ga di beresin rumah kan berantakan, ga rapi."

"Memangnya kenapa kalo ga rapi?" Dia bertanya lagi.

"Rumahnya kayak ga ke urus," saya menjawab sekenanya.

"Memangnya kenapa kalo kayak ga ke urus?" dia terus memburu.

"Ayah malu nak, kalo nanti ada tamu datang ke rumah kita," Saya hampir kehilangan jawaban.

"Kenapa harus malu sama tamu?" Ia belum mau selesai.

"Nanti Ayah kesannya pemalas begitu," saya mulai kehabisan kesabaran.

"Memangnya kenapa kalau Ayah terkesan malas?" Saya naik pitam. Pertanyaan - pertanyaan itu membuat saya seperti orang bodoh. Semakin sulit dijawab. Emosi sudah sampai ke ubun-ubun.

Tanpa banyak bicara tangan kanan saya berayun menangkap dan memutar ujung telinga kiri Raqia. Badannya sedikit terangkat. Raqia meringis.

"Beresin ga?" Saya tarik dia ke arah tumpukan mainan yang berserakan di sepanjang lantai. Dengan terpaksa sambil menggerutu Raqia memasukkan mainan - mainan itu ke kantong plastik hitam tempat ia berasal. Suasana seketika hening.

Raqia adalah anak yang cerdas. Bukan hanya sekali dua kali. Rentetan pertanyaan seperti itu sudah terjadi berulang kali. Hampir setiap argumentasi saya selalu ditanggapi dengan deretan pertanyaan yang menyiksa.

Anak pertama saya ini satu bulan lagi akan berumur delapan tahun. Saya yakin daya kritisnya ada secara natural. Sama seperti anak-anak lain seusianya yang sedang sangat ingin tahu.

Pertanyaan – pertanyaannya yang dilemparkannya kepada saya, mirip dengan konsep yang dikemukakan oleh seorang filsuf dari Yunani bernama Socrates.

Socrates dikenal sebagai bapak para filsuf. Hidup sekitar 469 - 399 sebelum masehi, ia digelari oleh orang-orang Athena sebagai Gadfly of Athens atau lalat Athena. Gelar itu disematkan karena tindak tanduknya seperti lalat yang selalu menempel dimana-mana dan membuat orang kesal.

Socrates terkenal dengan Socrates Method (metode Socrates). Metode ini adalah suatu cara dalam membongkar inti dari sebuah ide atau gagasan lewat dialog tanya jawab.

Jargonnya yang paling terkenal adalah "saya tidak tahu apa-apa." Dengan merasa tidak tahu lantas ia mempertanyakan semua hal kepada orang-orang Athena. Socrates adalah orang yang tidak suka membantah gagasan orang lain. Sebaliknya ia suka mempertanyakannya.

Pertanyaannya tidak akan berhenti sampai pada suatu titik di mana orang lain berbalik menjadi ragu dengan gagasannya sendiri. Begitulah cara Socrates membimbing orang-orang untuk menyadarkan bahwa sesungguhnya tidak ada gunanya kesombongan akan pengetahuan.

Namun hal itu tidak disukai oleh kebanyakan rakyat Athena karena apa yang dilakukan Socrates meruntuhkan keyakinan mitologi yang selama ini merupakan pandangan hidup masyarakat. Akhir hidup Socrates berakhir tragis ketika ia di hukum mati dengan dipaksa meminum racun.

Konsep Socrates disederhanakan oleh ahli filsafat kontemporer. Ada yang menamainya dengan konsep lima mengapa. Yaitu mempertanyakan suatu gagasan dengan pertanyaan mengapa yang diulang sebanyak lima kali terhadap setiap jawaban yang disampaikan.

Hal ini efektif untuk membongkar inti dari suatu gagasan. Sehingga pada pertanyaan "mengapa" yang kelima, biasanya akan ditemukan inti pokok dari sebuah gagasan yang diutarakan.

Itulah yang dilakukan tanpa sadar oleh Raqia terhadap saya. Raqia membuat saya ragu akan prinsip saya sendiri yang selalu saya pegang. Rumah harus selalu rapi dan bersih.

Dari Raqia saya berhasil menemukan suatu gagasan baru. Kenapa rumah harus selalu rapi? Kenapa saya harus malu kalau saya terkesan malas? Bukankah terkesan malas itu kan bukan berarti malas. Tidak mengapa jika sesekali kita malas. Bukankah hidup itu tak harus selalu sempurna?

Kemudian sampailah pada sebuah kata - kata bijak dari seorang tokoh terkemuka dunia yaitu Bill Gates. Sang miliuner pernah berkata dia akan memilih orang-orang malas untuk menyelesaikan pekerjaan - pekerjaan sulit. 

Sebab menurutnya orang-orang itu akan menemukan cara termudah untuk melakukannya. Ya, sebuah prinsip baru yang out of the box. Dan pandangan pun berubah tentang rasa malas. Tepatnya perasaan terkesan malas yang selama ini menjadi beban.

Saya tiba pada kesimpulan bahwa memberikan kesempatan kepada anak untuk terus mempertanyakan sesuatu itu termasuk hal yang sangat penting. Terkadang dari sana kita bisa mendapatkan gagasan baru bahkan prinsip-prinsip baru yang selama ini tidak pernah terpikirkan oleh kita.

Oleh karena itu sudah seharusnya orang tua dapat bersabar untuk menjawab setiap pertanyaan anak-anak. Sudah menjadi naluri seorang anak untuk selalu bertanya. Karena mereka adalah filsuf - filsuf kecil yang tak pernah lelah untuk terus bertanya.

 Hal itu pula yang membuat saya menyesal telah menjewer Raqia. 

Tulisan ini telah terbit di media online qureta.com: Menghadapi Socrates Method dalam Diri Anak- Anak (qureta.com)

Rabu, 03 November 2021

Ketegasan dan Kemarahan Yang Tidak Memiliki Hubungan Spesial

Kami duduk di sudut gedung fakultas. Saat itu hari sudah sore kala seorang rekan memberitahukan unek-uneknya. "Kamu belum pantas memimpin, kamu terlalu lemah tidak tegas," umpatnya. Pernyataan itu diutarakan pada saya beberapa hari sebelum pendaftaran calon ketua himpunan mahasiswa jurnalistik berakhir.

Saya tetap mendaftar satu hari sebelum pendaftaran ditutup. Keinginan itu muncul dari teman-teman satu angkatan. Mereka mendorong saya untuk mau mengambil resiko menjadi pemimpin meski tak di bekali ketegasan seperti yang di kritik rekan saya sebelumnya. Jadilah saya calon ketua himpunan mahasiswa jurnalistik Universitas Islam Bandung periode 2006 - 2007

Diluar rumah, saya memang jarang sekali marah. Sikap saya lebih kepada ga enakan dengan orang lain. Perilaku ini tentunya tidak disukai para sahabat yang lebih sering melihat saya memaklumi sikap orang lain yang seharusnya layak mendapatkan sebuah kemarahan dari saya.

Akibat banyaknya kritik tentang saya yang jarang marah, muncul pikiran yang selalu menghantui, apakah saya tidak tegas? seperti apa yang namanya tegas? apakah tegas itu harus selalu tercermin dengan amarah?Waktu berlalu. Saya menemukan sebuah buku yang sangat menarik dari seorang penulis internasional yang sangat terkenal, Dale Carnegie. Buku itu berjudul How to Win a Friend and Influece People. Cerita favorit saya ada pada bab satu.

Di ceritakan di bab itu tentang Bob Hoover, seorang pilot penguji terkenal yang sering tampil dalam pertunjukan udara. Pada suatu ketika dalam sebuah pertunjukan udara di San Diego, mesin pesawat yang dikendarai oleh Hoover berhenti mendadak pada ketinggian tiga ratus kaki di udara. Dua mesinnya mati. Dengan manuver yang sangat terampil dia berhasil mendaratkan pesawat tanpa cidera. Pesawatnya rusah parah.

Hoover memeriksa bahan bakar pesawat. Seperti yang dia curigai petugas telah salah mengisikan jenis bahan bakarnya. Segera dia meminta bertemu mekanik yang bertugas mengisi bahan bakar pesawat. Lelaki muda itu pucat dengan air mata bercucuran. Dia nyaris membunuh tiga orang awak dalam pesawat tersebut.

Kita semua tentu dapat membayangkan kemarahan sang pilot. Pria seperti ini pantas diberikan pukulan matahari atau pukulan kunyuk melempar buah. Yang mengejutkan, Hoover sama sekali tidak memarahi mekanik itu. Dia memeluk tubuh mekanik. Air mata sang mekanik makin berderai. Hoover berkata, "Untuk menunjukkan pada Anda bahwa saya yakin anda tidak melakukannya, saya ingin Anda merawan pesawat F-51 saya besok." Hasilnya, anak muda itu menjadi sangat hati-hati dan teliti.

Dengan membaca kisah ini, saya menjadi yakin pada diri saya. Ketegasan tidak selalu tentang teguran dan amarah. Dan saya pun berhasil memimpin himpunan saya selama satu periode tanpa kudeta.

Di akhir bab pertama dalam bukunya Dale Carnegie berkata "Sebagai ganti dari mencerca orang, mari kita coba untuk mengerti mereka mengapa mereka melakukan apa yang mereka lakukan. Hal itu jauh lebih bermanfaat dari pada memberikan mereka amarah."

Untuk membuat orang mau melakukan apa yang kita inginkan, kita harus terlebih dahulu mendapatkan simpati, toleransi dan kebaikan hati orang itu. Untuk mendapatkannya, kita harus mengenal mereka dan memaafkannya.

Sabtu, 24 Desember 2011

REFORMASI BIROKRASI JALAN DI TEMPAT

Sepertinya penyakit birokrasi di Indonesia semakin kronis saja. Sudah menjadi rahasia umum bahwa birokrasi kita terkenal lamban, berbelit-belit, tidak efisien dan tidak efektif. Belum lagi para pegawainya yang malas dan stagnan. Kenyataan birokrasi kita saat ini yang masih rendah dalam bidang sumber daya tersebut bukan hanya merugikan masyarakat tetapi juga menghambat laju perkembangan negara Indonesia yang mulai menggeliat.
Tidak sampai disitu saja. penyakit tersebut masih ditambah lagi mental korup para birokratnya. Prilaku yang telah menjadi karakter selama bertahun-tahun tersebut semakin menjadi-jadi dan dilakukan secara terang-terangan. Malahan hal tersebut sudah menjadi rahasia umum dikalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS) Seperti yang baru-baru ini terjadi. Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melansir data bahwa banyak PNS yang memiliki rekening fantastis.
Tentunya kita masih ingat bagaimana sepak terjang Gayus Tambunan. PNS yang baru mempunyai golongan IIIA ini sudah memiliki rekening miliaran rupiah. Pegawai kantor pajak ini juga bisa membuat rumah super mewah. Melenggang ke luar negeri tanpa takut kehabisan uang. Bahkan sampai mengobok-obok hukum di negara ini.
Bukan fenomena baru. Tapi pernyataan Wakil Ketua PPATK, Agus Santoso, mengenai lebih dari 10 PNS yang memiliki rekening gendut cukup mengiris hati. Terlebih lagi dalam data yang disebutkan rekening tersebut diklaim milik PNS muda yang berusia rata-rata 28 – 35 tahun dengan golongan IIIA - IIIC. Dugaan terstrukturnya praktek korupsi di institusi pemerintahan semakin menyeruak. Selalu ada celah untuk menilep uang negara. Kebanyakan dilakukan secara terstruktur dan rapi. Sehingga sulit bagi aparat hukum untuk membuktikannya.
Banyak modus yang dilakukan untuk mencuri di institusi. Modus yang paling sederhana adalah membuat paket perjalanan dinas fiktif. Biasanya perjalanan dinas hanya dilakukan oleh satu orang sampai dua orang saja. Namun dalam surat perjalanan dibubuhkan nama lima hingga tujuh orang. Dengan total perjalanan dinas selama tiga sampai lima hari. Lalu pegawai yang dicatut namanya harus menandatangani Surat Pertanggungjawaban (SPJ) dan hanya diberi komisi sesuai dengan kongkalikong bersama atasan.
Modus lainnya adalah melakukan proyek fiktif non fisik berbentuk seminar, sosialisasi dan sejenisnya. Ada juga yang melakukan proyek fisik dengan bekerja sama bersama rekanan guna mendapatkan untung bersama. Praktik yang paling praktis adalah dengan menunda pelaksanaan anggaran hingga akhir tahun. Gunanya ialah agar dana tersebut dapat diparkir sementara waktu di rekening oknum tertentu agar mendapatkan bunga yang besar.
Barang habis pakai juga merupakan objek yang mudah di tilep. Cukup dengan membuat kwitansi-kwitansi palsu dengan stempel-stempel buatan sendiri, anggaran yang cukup banyak dari barang habis pakai tersebut bisa masuk kantong pribadi. Barang-barang seperti ini juga sulit untuk diaudit karena usianya yang hanya sebentar (habis pakai).
Rasa-rasanya sulit untuk mengatakan bahwa seluruh praktek tersebut tidak diketahui oleh atasan. Karena setiap kebijakan turun dari atas. Selain itu atasan juga wajib memeriksa serta mengevaluasi hasil kerja bawahannya. Apalagi untuk kasus diatas (rekening fantastis PNS) dilakukan oleh pegawai yang berusia muda dan masih baru dalam dunia birokrasi. Tentunya  sangat sulit bagi birokrat muda untuk melakukan korupsi secara mulus tanpa izin, arahan, bimbingan serta petunjuk atasannya. Hal ini juga diakui oleh Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Haryono Umar yang mengatakan sulit dan kecil kemungkinan PNS golongan bawah berani melakukan tindakan beresiko tersebut (Jambi Ekspres, 8/12/2011).
Reformasi Birokrasi Jalan di Tempat
Tab MPR-RI Nomor VI/2001 mengamanatkan agar pemerintah membangun kultur birokrasi yang transparan akuntabel, bersih dan bertanggungjawab. Namun keinginan luhur yang juga menjadi cita-cita masyarakat itu masih jalan di tempat. Meski telah diarahkan oleh presiden dalam rakornas Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) pada 15 November 2005 silam, belum ada perubahan siknifikan terhadap birokrasi kita.
Reformasi birokrasi menuntut seluruh abdi negara untuk berkomitmen secara sungguh-sungguh. Jika tidak dari hati sanubari yang paling dalam akan sulit mencabut budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) sampai ke akar-akarnya. Seperti ilalang yang telah diberangus (dibakar), dia akan tumbuh lagi malah akan semakin subur.
Birokrasi sebagai sebuah sistem di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman kolonial dan telah melekat erat dalam mind-set aparat kita. Peninggalan belanda ini bersifat paternalistik dan feodalistik. Bersifat paternalistik karena atasan memiliki kuasa penuh terhadap administrasi publik yang dikelolanya. Kekuasaan seorang atasan tidak bisa diganggu gugat. Seperti anekdot yang ada di tengah masyarakat; ‘Pasal satu, atasan selalu benar. Pasal dua, jika atasan salah maka kembali ke pasal satu.’ Selain itu bawahan juga tidak berhak mengkoreksi ataupun menilai atasannya. Sehingga yang terjadi bawahan mudah di setir.
Bersifat feodalistik karena birokrat dianggap sebuah status sosial yang tinggi. Dia tidak mempunyai kesetaraan dengan masyarakat umum. Budaya seperti ini mengakibatkan birokrat akan memiki budaya mengintimidasi bagi masyarakat yang ingin mendapatkan pelayanan publik. Sehingga muncullah budaya korupsi, kolusi dan perbuatan amoral lainnya yang terbungkus rapi dalam sistem birokrasi feodalistik.
Sulitnya mencungkil budaya di atas membuat reformasi birokrasi yang sudah berlangsung selama beberapa tahun belakangan seakan terkatung-katung. Cita-cita masyarakat untuk cepat merasakan tata pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa (good governance) seakan makin sulit.
Sepertinya sudah banyak kasus yang bisa dijadikan momentum bagi kita untuk instropeksi diri. Namun dari kasus ke kasus belum ada perubahan yang berarti yang dialami birokrasi kita. Tapi penulis mengira semangat kita sebagai abdi negara belum luntur. Sebagai birokrat kita harus menjadikan setiap fenomena ini pelajaran berharga.
Program reformasi birokrasi yang telah berjalan ini diharapkan terus diperjuangkan. Betapapun sulitnya merubah tabiat birokrat kita dengan kesungguh-sungguhan hati hal ini tentunya tidak sulit untuk di capai. Seluruh birokrat yang memiliki visi dan misi yang selaras dengan reformasi birokrasi harus bersatu mengusung semangat yang sama untuk menyukseskannya. Wallahu a’lam bish shawab.

Tulisan ini terbit di Harian Jambi Ekspres Edisi Senin, 12 Desember 2011

Rabu, 22 Juni 2011

Sumpah Janji

ini tentang kemarin. saat kami berangkat dini hari.
melalui jalan liku berlubang. saat para petani
menuju kebun mereka dengan berjalan kaki. dan embun
mendarat di kulit mereka yang legam. saat burung pipit
belum lagi terjaga. saat ayam jago masih berteriak
parau membangunkan alam. mentari masih saja terlelap.
saat itu memang masih sangat pagi.

kami akan mengikat janji dengan Tuhan. di bawah kitap
suci. sumpah yang akan merongrong kami selama
berseragam sipil. mengintip-intip. menegur dan menjaga
kami dari keteledoran, dari ketidakpantasan, dari
tanggungjawab. dia akan melindungi kami dan kehormatan
kami. jika kami memang bersungguh-sungguh.

tiba di jambi pukul 7.30. mataku masih terkantuk-kantuk.
kami singgah di rumah mertua bang Andi untuk mengganti
pakaian dinas. setelah sarapan lontong dan segelas kopi
kami menuju hotel ceria tempat keramat yang akan jadi
saksi janji kami.

memasuki pelataran hotel, sudah banyak pegawai lain
yang berdiri dengan berbagai rupa. dengan gaya yang
berbeda. berbagai karakter berbaur menjadi satu. kami
saling bercengkrama untuk mengakrabkan diri. tersenyum-
senyum simpul meski baru bertemu. mencoba membuka
obrolan ringan. lalu tertawa lalu tersenyum lalu serius
lalu tertawa lagi.

tiba lah saat yang di tunggu. kami digiring ke
auditorium hotel ceria. disana telah disususun bangku-
bangku. ditata meja-meja bagi pejabat dan undangan.
mendadak ruangan ini menjadi menyeramkan bagiku.
mungkin juga bagi rekan-rekan yang lain.

rasa horor itu terpantik dari kata sumpah janji. kata
itu seperti sebuah keramat yang menyeramkan. aku
berfikir, dapatkah aku aku mempertanggungjawabkakn apa
yang akan aku ucapkan kelak?

keraguan ini datang karena aku sadar begitu beratnya
gelombang yang akan menerpaku nanti dikemudian hari,
dibalik seragam ini. dapatkah aku melawannya? dan
begitu banyak pertanyaan lain yang makin menyiksaku.
mempersempit rongga paru-paruku. membuatku sulit
bernafas. urat-uratku muncul dari balik balutas tipis
kulit ku yang hitam. ujung-ujung jemariku dingin dan
gemetar.

"Tuhan." lirihku dalam hati. "aku ingin berjuang di
jalan Mu Tuhan. mengatakan yang benar itu benar yang
salah itu salah. lalu menjalankan semuanya dalam tugas-
tugasku. tapi Tuhan, mungkin akan sangat lain
kejadiannya. manusia sekarang sudah sangat rakus.
tak lagi melihat mana yang halal dan yang haram.
sanggupkah aku Tuhan? menjalankan kebenaran Mu Tuhan.
ditengah badai ini Tuhan? dalam budaya yang begitu
kental ini Tuhan?"

"ini lah jihad." tiba-tiba kalimat tersebut terlintas
dalam pikiranku yang tengah bertanya dan menjerit. ya
ini jihad. ini jihad. ini jihad. ini jihad. kupekikkan
kata itu berkali-kali dalam pikiranku.

dengan perlahan aku melangkah kedepan. bersama yang
lain aku berada di bawah Al-qur'an. ku kuatkan
kepalan tanganku. ku mantapkan hati ku. dengan lantang
ku ucapkan "DEMI ALLAH, SAYA BERSUMPAH ..."

Selasa, 12 April 2011

nurani telah pergi

sulit rasanya berjuang diantara kepercayaan yang hilang. nurani tak lagi terusik iba. nilai-nilai itu sudah mereka bakar didada mereka. yang muncul hanya tinggal uap tipis tersapu angin. menyatu diantara riak dan panas udara, mengepul lalu hilang lagi.

badai dan tsunami terus bergolah dalam hati. berkecamuk terhadang dinding-dinding hormat yang hampir meledak. kepantasan  untuk disegani itu telah lebur. malah ingin rasanya menginjak-injaknya jadi debu.

tak perlu lagi dibicarakan harga diri. ia bukan hanya sudah mati tapi dibunuh dan digadai dengan harga yang supermurah. di kios-kios kotor, bau dan lembab. bangkai, kotoran babi, tetesan liur anjing-anjing busuk bercampur menjadi satu kesatuan yang utuh.

aku teriak dilorong sempit tempat para tikus-tikus mengendus selokan. pertolongan tak kunjung datang. malah tikus tadi menertawakan dengan sunggingan sungut yang sangat ku benci. kukira tikus ini yang paling rakus. ternyata aku salah. salah besar.

mereka memang pengemis. menukar materi dengan harga diri. aku bukan hanya risih disini. tapi di sekre-sekre yang telah mereka kuasai. nurani, nurani, nurani. semenjak engkau pergi dan tak mau kembali. kami serasa mati. gentanyangan dengan tubuh gontai dan kumis penggertak dilengkapi dengan bibir penghisap jiwa-jiwa suci.

aku berlari mencari bidadariku. aku berharap-harap dia dapat menenangkan kegundahan yang berdasar ini. ku pandangi gambarnya. tersenyum lalu mengecupnya. tak ada reaksi. akupun tak berharap reaksi. aku hanya ingin memandanginya lagi dan membangun mimpi-mimpiku.

badai dan tsunami ini bisa saja hilang. sensitifitas yang masih ingin aku dekap hingga akhir hayat. aku tak mau dia menguap. sungguh tak ingin. selamatkan aku Cinta. aku mencintaimu Cinta. tumbuhkan Cinta yang lebih besar lagi. hiasi lah orang-orang dengan cintamu Cinta. berilah kami kehidupan yang penuh cinta, wahai Cinta.

selamatkan hati kami. aku mohon.
selamatkan dari kebencian.

Kamis, 31 Maret 2011

bagaimana baiknya bersikap?

kebutuhan manusia untuk dihargai telah melahirkan kecemburuan-kecemburuan pribadi yang tidak beralasan. kadang hanya karena orang yang kita cemburui itu dahulunya adalah teman sekelas, teman bermain bahkan anak kecil yang polos dan kini telah berhasil, kita dengan seenaknya mengatakan "halah, sok banget. gua tau dulunya dia tuh suka ngiler dikelas, suka mangap-mangap kalo guru lagi nerangin". yang notabene adalah keadaan dia yang dahulu. secara logika keterangan yang berupa fakta itu adalah benar di masa dahulu. sedangkan bila dikaitkan dengan masa sekarang fakta itu sudah tidak berlaku lagi.

kecendrungan orang untuk mendengki ini bukan hanya distimuli oleh keadaan diri seseorang dan juga ketidaksiapan mental dalam menghadapi perubahan tetapi juga dipengaruhi kemampuan orang yang dicemburui dalam bersikap. kecerdasan dalam bergaul agar dapat di terima juga merupakan hal yang penting. dengan hal tersebut seseorang dapat menunjukkan idealismenhya tanpa harus dibenci. pendekatan-pendekatan secara persuasi juga sangat diperlukan untuk mencegah kekagetan.

terkadang kita memang harus meninggikan orang lain atau lawan bicara kita. bukan untuk merendahkan diri kita akan tetapi untuk membuatnya merasa dihargai. karena betapapun benarnya prinsip yang kita pakai jika lontarkan secara tiba-tiba akan memicu sikap defensif dari orang lain. untuk menghindarin hal itu guna mengefektifkan ide yang kita punya langkah-langkah ini sangat diperlukan.

sekian catatan yang tak terkonsep ini.
sekedar untuk melatih diri.
by Kemarau