Rabu, 26 April 2023

Pentingnya Momentum Untuk Menumbuhkan Minat Baca

Pagi ini saya dikejutkan oleh gedoran pintu dari seorang kurir. Sebuah Cash On Delivery yang masih terbungkus plastik tebal diulurkan kepada saya. "Semuanya jadi 195 ribu mas," kata sang kurir.

Saya memang tengah menunggu paket titipan istri. Tapi tak menyangka datang secepat ini. Kubuka bungkusan tersebut dengan sebuah pisau dapur. 

Aku sedikit kaget. Buku yang tengah ku buru ada dalam salah satu isi paket yang berisi buku-buku itu. Ini adalah sebuah kejutan dari Istri. Buku Dunia Anna yang merupakan sekuel dari buku sebelumnya Dunia Shopie.

Meila memang sudah lama memperhatikanku membaca Dunia Shopie. Sebenarnya dia agak risih karena sejak membaca buku itu aku jadi sering update status media sosialku dengan kata-kata sok bijak. "Apaan sih bang," gumamnya.

Istriku ini adalah orang yang sangat suka membaca. "Sejak kecil," ungkapnya. Jadi tak lelah ia mendorongku untuk terus membaca buku. Jadi meskipun dia sedikit sebal karena aku menjadi lebay gara-gara Dunia Shopie, namun ternyata dia tetap mendukungku dengan membelikan novel lanjutannya.

Saya lupa tepatnya pada semester berapa. Waktu ini kami satu kelas diberikan tugas untuk membuat resensi buku laskar pelangi dari Andrea Hirata. Saya belum banyak mengetahui perihal buku ini. Pada momen tersebut, buku itu belum seterkenal sekarang. Baru diterbitkan beberapa pekan atau bulan. Saya tak ingat persis.

Dengan terpaksa saya membacanya. Lagian, ini adalah tugas dari salah satu dosen favoritku bu Santi. Tanpa protes ku baca Laskar Pelangi. Padahal pada waktu itu aku sama sekali bukan orang yang suka membaca. Jangankan buku dengan tebal 529 halaman itu. Yang 50 halaman saja belum tentu ku baca.

Aku terpesona pada Laskar Pelangi, aku tak bisa berhenti membaca sebelum bab-bab pada buku itu habis. Seorang Andrea Hirata berhasil menghinoptisku untuk menamatkan kisah tentang anak-anak miskin belitong itu.

Lalu beberapa waktu berlalu. Dan buku laskar pelangi booming. Semua orang membicarakannya. Senangnya aku karena tak perlu bengong saat berada diantara pembicaraan tentang anak-anak SD Muhammadiyah Gantong. 

Sejak saat itu aku sangat tertarik pada buku-buku. Lebih-labih novel-novel dari Andrea. Sang Pemimpi, Edensor, Maryamah Karpov, Padang Bulan dan Cinta Dalam Gelas, Sebelas Pratriot serta Orang-Orang Biasa dan Guru Aini.

Saya bukanlah orang yang dibesarkan dengan budaya baca. Bukan karena orang tua tidak mendidik saya seperti itu. Saya menduga karena memang saya yang tidak mau. Saya masih ingat ketika kecil setiap seminggu sekali saya dan adik rutin dibelikan majalah Ananda dan Bobo. Toh tak membuat saya menjadi rajin membaca.

Dari SD sampai kuliah saya tak pernah ingat ada buku yang pernah ditamatkan kecuali novel Atheis karya Achdiat Karta Mihardja yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1949. Itu pun karena terpaksa saat pulang kampung ke Agam, Bukit Tinggi. Seminggu di sana tidak ada televisi dan hiburan lain bisa saya nikmati. Untunya sampai sekarang saya masih beragama. Haha.

Hari ini meski belum dapat dibilang seorang kutu buku, minat baca saya sudah lumayan ada. Minimal satu bulan sekali saya menamatkan satu buku. Meski tidak ditarget.

Menumbuhkan minat baca bagi saya memerlukan momentum. Butuh sebuah buku yang menarik keinginan kita untuk membaca. Lalu kita akan ketagihan. Tak musti semua genre buku kita telan. Cukup yang benar-benar sesuai dengan selera kita.

Minat inilah yang coba kami dorong ke anak-anak kami. Lebih luas ke anak-anak sekitar rumah kami. Kami sudah membuka rumah baca kecil-kecilan sejak beberapa tahun lalu. Buku-buku kami susun di ruang tamu dengan ruang dan tempat seadanya.

Kami mencoba agar anak-anak disekitar kami mendapatkan momentumnya dalam membaca. Syukur-syukur minat baca mereka tumbuh di rumah baca milik kami. 

Esai ini di tulis November 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar