Sabtu, 24 Desember 2011

REFORMASI BIROKRASI JALAN DI TEMPAT

Sepertinya penyakit birokrasi di Indonesia semakin kronis saja. Sudah menjadi rahasia umum bahwa birokrasi kita terkenal lamban, berbelit-belit, tidak efisien dan tidak efektif. Belum lagi para pegawainya yang malas dan stagnan. Kenyataan birokrasi kita saat ini yang masih rendah dalam bidang sumber daya tersebut bukan hanya merugikan masyarakat tetapi juga menghambat laju perkembangan negara Indonesia yang mulai menggeliat.
Tidak sampai disitu saja. penyakit tersebut masih ditambah lagi mental korup para birokratnya. Prilaku yang telah menjadi karakter selama bertahun-tahun tersebut semakin menjadi-jadi dan dilakukan secara terang-terangan. Malahan hal tersebut sudah menjadi rahasia umum dikalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS) Seperti yang baru-baru ini terjadi. Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melansir data bahwa banyak PNS yang memiliki rekening fantastis.
Tentunya kita masih ingat bagaimana sepak terjang Gayus Tambunan. PNS yang baru mempunyai golongan IIIA ini sudah memiliki rekening miliaran rupiah. Pegawai kantor pajak ini juga bisa membuat rumah super mewah. Melenggang ke luar negeri tanpa takut kehabisan uang. Bahkan sampai mengobok-obok hukum di negara ini.
Bukan fenomena baru. Tapi pernyataan Wakil Ketua PPATK, Agus Santoso, mengenai lebih dari 10 PNS yang memiliki rekening gendut cukup mengiris hati. Terlebih lagi dalam data yang disebutkan rekening tersebut diklaim milik PNS muda yang berusia rata-rata 28 – 35 tahun dengan golongan IIIA - IIIC. Dugaan terstrukturnya praktek korupsi di institusi pemerintahan semakin menyeruak. Selalu ada celah untuk menilep uang negara. Kebanyakan dilakukan secara terstruktur dan rapi. Sehingga sulit bagi aparat hukum untuk membuktikannya.
Banyak modus yang dilakukan untuk mencuri di institusi. Modus yang paling sederhana adalah membuat paket perjalanan dinas fiktif. Biasanya perjalanan dinas hanya dilakukan oleh satu orang sampai dua orang saja. Namun dalam surat perjalanan dibubuhkan nama lima hingga tujuh orang. Dengan total perjalanan dinas selama tiga sampai lima hari. Lalu pegawai yang dicatut namanya harus menandatangani Surat Pertanggungjawaban (SPJ) dan hanya diberi komisi sesuai dengan kongkalikong bersama atasan.
Modus lainnya adalah melakukan proyek fiktif non fisik berbentuk seminar, sosialisasi dan sejenisnya. Ada juga yang melakukan proyek fisik dengan bekerja sama bersama rekanan guna mendapatkan untung bersama. Praktik yang paling praktis adalah dengan menunda pelaksanaan anggaran hingga akhir tahun. Gunanya ialah agar dana tersebut dapat diparkir sementara waktu di rekening oknum tertentu agar mendapatkan bunga yang besar.
Barang habis pakai juga merupakan objek yang mudah di tilep. Cukup dengan membuat kwitansi-kwitansi palsu dengan stempel-stempel buatan sendiri, anggaran yang cukup banyak dari barang habis pakai tersebut bisa masuk kantong pribadi. Barang-barang seperti ini juga sulit untuk diaudit karena usianya yang hanya sebentar (habis pakai).
Rasa-rasanya sulit untuk mengatakan bahwa seluruh praktek tersebut tidak diketahui oleh atasan. Karena setiap kebijakan turun dari atas. Selain itu atasan juga wajib memeriksa serta mengevaluasi hasil kerja bawahannya. Apalagi untuk kasus diatas (rekening fantastis PNS) dilakukan oleh pegawai yang berusia muda dan masih baru dalam dunia birokrasi. Tentunya  sangat sulit bagi birokrat muda untuk melakukan korupsi secara mulus tanpa izin, arahan, bimbingan serta petunjuk atasannya. Hal ini juga diakui oleh Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Haryono Umar yang mengatakan sulit dan kecil kemungkinan PNS golongan bawah berani melakukan tindakan beresiko tersebut (Jambi Ekspres, 8/12/2011).
Reformasi Birokrasi Jalan di Tempat
Tab MPR-RI Nomor VI/2001 mengamanatkan agar pemerintah membangun kultur birokrasi yang transparan akuntabel, bersih dan bertanggungjawab. Namun keinginan luhur yang juga menjadi cita-cita masyarakat itu masih jalan di tempat. Meski telah diarahkan oleh presiden dalam rakornas Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) pada 15 November 2005 silam, belum ada perubahan siknifikan terhadap birokrasi kita.
Reformasi birokrasi menuntut seluruh abdi negara untuk berkomitmen secara sungguh-sungguh. Jika tidak dari hati sanubari yang paling dalam akan sulit mencabut budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) sampai ke akar-akarnya. Seperti ilalang yang telah diberangus (dibakar), dia akan tumbuh lagi malah akan semakin subur.
Birokrasi sebagai sebuah sistem di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman kolonial dan telah melekat erat dalam mind-set aparat kita. Peninggalan belanda ini bersifat paternalistik dan feodalistik. Bersifat paternalistik karena atasan memiliki kuasa penuh terhadap administrasi publik yang dikelolanya. Kekuasaan seorang atasan tidak bisa diganggu gugat. Seperti anekdot yang ada di tengah masyarakat; ‘Pasal satu, atasan selalu benar. Pasal dua, jika atasan salah maka kembali ke pasal satu.’ Selain itu bawahan juga tidak berhak mengkoreksi ataupun menilai atasannya. Sehingga yang terjadi bawahan mudah di setir.
Bersifat feodalistik karena birokrat dianggap sebuah status sosial yang tinggi. Dia tidak mempunyai kesetaraan dengan masyarakat umum. Budaya seperti ini mengakibatkan birokrat akan memiki budaya mengintimidasi bagi masyarakat yang ingin mendapatkan pelayanan publik. Sehingga muncullah budaya korupsi, kolusi dan perbuatan amoral lainnya yang terbungkus rapi dalam sistem birokrasi feodalistik.
Sulitnya mencungkil budaya di atas membuat reformasi birokrasi yang sudah berlangsung selama beberapa tahun belakangan seakan terkatung-katung. Cita-cita masyarakat untuk cepat merasakan tata pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa (good governance) seakan makin sulit.
Sepertinya sudah banyak kasus yang bisa dijadikan momentum bagi kita untuk instropeksi diri. Namun dari kasus ke kasus belum ada perubahan yang berarti yang dialami birokrasi kita. Tapi penulis mengira semangat kita sebagai abdi negara belum luntur. Sebagai birokrat kita harus menjadikan setiap fenomena ini pelajaran berharga.
Program reformasi birokrasi yang telah berjalan ini diharapkan terus diperjuangkan. Betapapun sulitnya merubah tabiat birokrat kita dengan kesungguh-sungguhan hati hal ini tentunya tidak sulit untuk di capai. Seluruh birokrat yang memiliki visi dan misi yang selaras dengan reformasi birokrasi harus bersatu mengusung semangat yang sama untuk menyukseskannya. Wallahu a’lam bish shawab.

Tulisan ini terbit di Harian Jambi Ekspres Edisi Senin, 12 Desember 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar